Kapal selam berawak Shenhai Yongshi (Deep Sea Warrior) muncul ke permukaan usai merampungkan investigasi bawah laut selama satu hari di Laut China Selatan pada 27 Mei 2023. (Xinhua/Pu Xiaoxu)
Jalur yang dipilih oleh pemerintahan Marcos akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial serta tensi tinggi, yang tidak hanya terjadi di Laut China Selatan, tetapi juga di kawasan ASEAN.
Oleh Joseph Matthews
Tindakan penjaga pantai Filipina di perairan Xianbin Jiao di Laut China Selatan tidak hanya secara serius melanggar kedaulatan teritorial China, tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap perdamaian regional.
Sejak pertengahan April 2024, Filipina telah menambatkan BRP Teresa Magbanua (MRRV-9701), kapal penjaga pantai negara itu, di laguna Xianbin Jiao dan dilaporkan berencana mengirim kapal kedua untuk berlabuh di laguna tersebut.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas negara itu untuk menantang kedaulatan China di Laut China Selatan, di samping Ren'ai Jiao dan Huangyan Dao yang telah lama disengketakan.
Saya sangat yakin Filipina berencana menyandarkan kapal di Xianbin Jiao seperti yang terjadi pada 1999 saat negara itu dengan sengaja menambatkan bangkai kapal perang di Ren'ai Jiao untuk memanfaatkannya sebagai pos terdepan.
Pemerintahan Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos menempatkan diri sebagai korban, sementara pada saat yang sama, mengundang "serigala" ke dalam "rumah" mereka dan secara sukarela bertindak sebagai pion mereka.
Pada April 2024, Amerika Serikat (AS) memindahkan sistem misil jarak menengah yang dapat menembakkan rudal Standard Missile-6 dan Tomahawk ke Filipina utara, dengan dalih bahwa sistem itu akan digunakan untuk latihan militer.
Menurut pandangan saya, sistem itu dihadirkan untuk menantang kedaulatan China di Laut China Selatan, yang mengancam dan membahayakan stabilitas regional.
Sejak menjabat, Marcos dan pemerintahannya telah bersikap lebih tegas dan agresif terkait perselisihannya dengan China.
Selain pengerahan sistem misil tersebut, Marcos juga mengizinkan AS untuk menggunakan sembilan pangkalan militer guna menyimpan perangkat keras dan peralatan militer, di samping menyelenggarakan latihan militer bersama AS, Jepang, dan Australia di perairan yang disengketakan itu.
Langkah-langkah tersebut merupakan indikasi bahwa pemerintahan Marcos mengutamakan konfrontasi alih-alih konsultasi, dan konflik ketimbang dialog.
Jalur yang dipilih oleh pemerintahan Marcos akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial serta tensi tinggi, yang tidak hanya terjadi di Laut China Selatan, tetapi juga di kawasan ASEAN.
Saya ingat selama masa kepresidenan Rodrigo Duterte, Filipina meningkatkan hubungannya dan kerja sama dengan China dalam berbagai isu, mengembangkan hubungan yang lebih kuat dan stabil dengan negara itu, serta sukses menerapkan pedoman perilaku dengan China dan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Namun, hubungan itu memburuk selama kepresidenan Marcos akibat meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan.
Provokasi pemerintahan Marcos di perairan Xianbin Jiao telah mengganggu kedaulatan dan integritas China, melanggar Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan serta mengancam perdamaian di Laut China Selatan dan seluruh kawasan tersebut.
Oleh karena itu, China, yang memiliki kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau dan terumbu karang di area tersebut dan perairan di sekitarnya, berhak mengambil tindakan tegas. Selesai
Catatan editor: Joseph Matthews adalah profesor senior di Universitas Internasional BELTEI di Phnom Penh, Kamboja.
Pandangan yang dituangkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak sepenuhnya mewakili posisi Kantor Berita Xinhua.
