BEIJING, 7 Agustus (Xinhua) -- China pada Senin (7/8) mendesak Amerika Serikat (AS) berhenti memanfaatkan isu Laut China Selatan untuk menebar kebingungan dan perselisihan, menghormati kedaulatan teritorial, hak-hak dan kepentingan maritim China di Laut China Selatan, serta menghormati upaya negara-negara regional untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.
Juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri China menyampaikan pernyataan itu sebagai respons atas pernyataan Departemen Luar Negeri AS yang mengkritik China karena menghalangi kapal-kapal Filipina yang hendak mengirim pasukan dan pasokan baru ke sebuah kapal militer yang disandarkan di Ren'ai Jiao dan menembakkan meriam air.
Pernyataan AS menyebutkan bahwa tindakan semacam itu "tidak sesuai dengan hukum internasional" dan "mengancam perdamaian dan stabilitas regional" serta menyerukan kepada China untuk mematuhi putusan arbitrase Laut China Selatan yang dikeluarkan pada 2016. Pernyataan tersebut mengindikasikan dukungan AS bagi "operasi maritim Filipina yang sah" dan mengatakan bahwa serangan bersenjata terhadap Penjaga Pantai Filipina (Philippine Coast Guard) akan "mendorong diterapkannya komitmen pertahanan timbal balik AS di bawah Perjanjian Pertahanan Timbal Balik AS-Filipina."
Pernyataan Departemen Luar Negeri AS, dengan mengabaikan fakta-fakta yang ada, mengecam tindakan China yang sah dan sesuai hukum di laut yang bertujuan untuk melindungi hak-haknya dan menegakkan hukum, dan pernyataan tersebut juga menyuarakan dukungan terhadap tindakan Filipina yang melanggar hukum dan provokatif, ungkap jubir itu.
"China dengan tegas menentang pernyataan tersebut," kata sang jubir.
Selama beberapa waktu, AS telah menghasut dan mendukung upaya Filipina untuk merombak serta memperkuat kapal militernya yang sengaja disandarkan di Ren'ai Jiao. AS bahkan mengerahkan pesawat dan kapal militer untuk membantu dan mendukung Filipina, seraya berulang kali berusaha mengancam China dengan mengutip Perjanjian Pertahanan Timbal Balik AS-Filipina. AS telah dengan berani mendukung Filipina yang melanggar kedaulatan China, namun langkah tersebut tidak akan berhasil, ungkap jubir itu.
Jubir tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa Ren'ai Jiao selalu menjadi bagian dari Nansha Qundao China dan konteks historis atas isu Ren'ai Jiao sangat jelas.
Pada 1999, Filipina mengirim sebuah kapal militer dan dengan sengaja membuatnya kandas di Ren'ai Jiao, berupaya mengubah status quo Ren'ai Jiao secara ilegal. China segera melakukan démarche (langkah politik) serius terhadap Filipina, menuntut penarikan kapal tersebut. Filipina beberapa kali berjanji untuk menariknya, namun belum ada tindakan. Tidak hanya itu, Filipina berusaha merombak dan memperkuat kapal militer tersebut untuk menduduki Ren'ai Jiao secara permanen, ujar sang jubir.
Pada 5 Agustus, tanpa menghiraukan peringatan dan teguran berulang kali dari China, Filipina mengirim dua kapal yang memasuki perairan di dekat Ren'ai Jiao dan mencoba mengirim material konstruksi untuk merombak dan memperkuat kapal militer yang disandarkan itu. Tindakan tersebut melanggar kedaulatan China dan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration on the Conduct of Parties/DOC) di Laut China Selatan. Kapal-kapal Penjaga Pantai China (China Coast Guard/CCG) menghentikan mereka sesuai dengan hukum dan memperingatkan mereka melalui langkah-langkah penegakan hukum yang tepat. Manuver mereka profesional, terkendali, dan tak bercela, papar sang jubir.
Arbitrase Laut China Selatan adalah murni drama politik yang dilakukan atas nama hukum, dengan AS sebagai dalang di balik layar. Hal yang disebut sebagai putusan itu bertentangan dengan hukum internasional termasuk UNCLOS, ilegal, tidak sah, dan batal menurut hukum. Upaya AS untuk mengangkat isu putusan yang ilegal tersebut tidak akan memengaruhi tekad kuat China dalam menjaga kedaulatan teritorial, hak-hak dan kepentingan maritimnya sesuai dengan hukum, ungkap jubir tersebut. Selesai