Mengacu pada data dari Bank Dunia, Profesor Ding Yibing, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jilin, menyoroti bahwa sejak 2016, China, sebagai kreditur bilateral, bertanggung jawab atas sekitar 16 persen keringanan utang global, melampaui Amerika Serikat (AS) dan Bank Dunia. Dia menambahkan bahwa pengurangan utang China telah melipatgandakan skala pengurangan rata-rata para negara anggota G7.
"Di antara negara-negara anggota G20, China telah memberikan keringanan utang terbesar secara keseluruhan," kata Ding. "Namun, proporsi utang China ke Afrika secara keseluruhan tidak tinggi. Lembaga keuangan multilateral dan kreditur komersial memegang porsi utang tertinggi. Bahkan tanpa utang dari China, negara-negara (Afrika) ini masih menghadapi tekanan utang yang tinggi."
Foto yang diabadikan pada 20 April 2022 ini memperlihatkan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), di Washington DC, AS. (Xinhua/Liu Jie)
SIAPA YANG HARUS DISALAHKAN?
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai faktor seperti kenaikan suku bunga Federal Reserve (The Fed) AS, siklus harga komoditas global, struktur ekonomi negara berkembang tertentu, pandemi COVID-19, dan krisis Ukraina telah menyebabkan kekurangan likuiditas. Hal ini sangat membatasi kemampuan membayar utang (repayment capacity) beberapa negara berkembang, yang menyebabkan krisis utang negara.
Oleh karena itu, menyalahkan China atas krisis utang tersebut adalah tindakan yang tidak adil dan menyesatkan. Studi kasus terperinci tentang Pakistan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang situasi tersebut.
Artikel Associated Press (AP) menyebutkan puluhan negara "dengan utang terbanyak kepada China," termasuk Pakistan, "didapati membayar kembali utang itu dengan menghabiskan jumlah yang lebih besar dari pendapatan pajak yang dibutuhkan untuk mempertahankan sekolah-sekolah tetap buka, menyediakan listrik, serta membeli pangan dan bahan bakar."
Namun bagi Ramay, "Pakistan (disebut) terbebani utang China bukanlah pernyataan yang benar."
Mengenai semua dana yang telah diberikan China kepada Pakistan, termasuk safe deposit, jumlahnya sekitar 20 persen. "Dan seperti yang saya sebutkan, sebagian besar uang datang dengan mekanisme swap. Dana itu berupa simpanan di bank-bank Pakistan untuk menghindari gagal bayar. Sisanya merupakan pinjaman lunak yang ingin membantu kami menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan sumber daya keuangan dan pendapatan, yang akan membantu mencegah krisis utang kami," papar Ramay.
"Masalah kami sebenarnya adalah utang luar negeri dari lembaga keuangan Barat. Pakistan tidak dapat membayarnya kembali karena itu pinjaman berbunga tinggi. Beberapa di antaranya, seperti utang swasta, bahkan lebih tinggi," ungkap Ramay. "Pakistan juga menjual obligasi di pasar Barat dengan harga yang lebih tinggi. Semua hal tersebut menimbulkan masalah serius bagi Pakistan."
Sejumlah orang menaiki kereta metro Orange Line di Lahore, Pakistan, pada 29 Desember 2021. Resmi dibuka untuk operasional lalu lintas pada 25 Oktober 2020, kereta metro Orange Line yang ramah lingkungan merupakan proyek awal di bawah Koridor Ekonomi China-Pakistan (China-Pakistan Economic Corridor/CPEC), proyek unggulan dari Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) yang diusulkan China. (Xinhua/Jamil Ahmed)
Contohnya industri tekstil. Dalam artikelnya, AP mengatakan, "Di Pakistan, jutaan pekerja tekstil diberhentikan karena negara itu memiliki terlalu banyak utang luar negeri serta tidak mampu menghidupkan listrik dan mesin."
Bagi Shahid Sattar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pabrik Tekstil Seluruh Pakistan, sektor ini dilanda "badai sempurna" kekurangan likuiditas yang disebabkan oleh perubahan signifikan dalam paritas rupee-dolar AS, penundaan pengembalian pajak penjualan, dan kegagalan panen kapas di Pakistan.
"Namun, menimpakan kesalahan itu pada China sama sekali tidak masuk akal. China telah bekerja sama dengan Pakistan untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi kami secara berkelanjutan," ujar Shahid.
Bagi Mfuni, mantan wakil kepala misi Zambia di Beijing, utang China memiliki tingkat bunga yang paling rendah, lebih rendah dari utang Barat dan lembaga multilateral, IMF, Bank Dunia, dan terutama pemberi pinjaman swasta.
"Masalah terbesar kami bukan utang China tetapi vulture fund. Mereka tidak tertarik dengan pengampunan utang," namun berharap China begitu, tutur Mfuni.
"Saya rasa kita harus bersikap faktual. Suku bunga dari pemberi pinjaman Barat lebih tinggi ... Negara-negara terjebak membayar bunga, dan utang pokok tetap tidak terbayar untuk waktu yang lama. Apa artinya itu? Ini mewakili tingkat eksploitasi," ungkap Mfuni.
Menurut Lewis Ndichu, seorang peneliti di Institut Kebijakan Afrika di Nairobi, tantangan utang Kenya seharusnya tidak dikaitkan dengan China melainkan dengan efek limpahan (spillover) dari krisis Ukraina dan ketidakpastian ekonomi global.
"Dilema utang Kenya bukan masalah China. Ini bukan masalah China," kata Ndichu.
Ndichu membantah klaim AP yang mengatakan, "Di Kenya, beberapa kilometer terakhir jalur kereta tidak pernah dibangun karena perencanaan yang buruk dan kekurangan dana." Dia mengatakan masalahnya bukan pendanaan.
"China merasa penting untuk memberi waktu kepada negara-negara Afrika melakukan stabilisasi karena kami mulai membayar kembali utang untuk SGR (Jalur Kereta Sepur Standar) pada 2020. Pemerintah sekarang dapat menuai buah dari SGR dan perlahan-lahan melangkah di jalur yang benar terkait keberlanjutan utangnya untuk SGR. Ketika saatnya tiba, apalagi sekarang kami memiliki pemerintahan baru, kami dapat memulai tahap kedua SGR," urai Ndichu.
Foto yang diabadikan pada 23 Mei 2023 ini memperlihatkan sejumlah rangkaian kereta Jalur Kereta Mombasa-Nairobi di Nairobi, Kenya. Jalur Kereta Sepur Standar (Standard Gauge Railway/SGR) Mombasa-Nairobi di Kenya telah menjadi proyek unggulan kerja sama China-Afrika, sebuah rekam jejak bagi perusahaan China dan proyek percontohan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI). (Xinhua/Wang Guansen)
Negara-negara yang rentan secara ekonomi sering menjadi korban krisis utang karena penurunan finansial yang disebarkan oleh Barat. Sejak 2022, kebijakan moneter AS berubah dari kelonggaran ekstrem menjadi kenaikan suku bunga yang cepat, yang memicu timbulnya masalah utang di beberapa negara miskin.
Dengan dominasi dolar, AS menerapkan putaran pelonggaran kuantitatif dan menurunkan suku bunga mendekati nol, menyebabkan masuknya dolar berbunga rendah yang signifikan ke Afrika dan emerging market. Namun, AS kemudian menaikkan suku bunga secara agresif, menyebabkan dolar AS yang lebih kuat dan arus keluar modal. Akibatnya, hal ini mengakibatkan kekurangan likuiditas, gangguan rantai pendanaan, depresiasi mata uang, dan lonjakan utang negara, ungkap Ye Jianru, lektor kepala di Universitas Studi Asing Guangdong.
Bagi Ye, yang juga peneliti di Lembaga Studi Afrika di Universitas Studi Asing Guangdong, sistem keuangan global yang tidak adil yang dipimpin oleh AS merupakan akar penyebab dari masalah utang di Afrika.
Sistem tata kelola keuangan global, yang berpusat pada dolar AS serta institusi seperti IMF dan Bank Dunia, menempatkan negara-negara Afrika dalam posisi yang tidak menguntungkan. Afrika memiliki perwakilan yang terbatas di IMF dan menghadapi biaya pendanaan yang tinggi karena sikap bias lembaga-lembaga pemeringkat utama yang condong ke AS dan negara-negara Barat.
Akibatnya, negara-negara Afrika mengalami penurunan peringkat kredit yang cepat dan peningkatan biaya layanan utang saat mengalami tantangan likuiditas. Meskipun menjadi pemegang saham terbesar di Bank Dunia dan IMF, AS perlu mengambil lebih banyak tindakan untuk mengatasi masalah utang Afrika atau menawarkan solusi yang layak, kata Ye.
Kendati China bukan pemberi pinjaman terbesar dan menawarkan keringanan utang tanpa syarat, para kritikus Barat tetap menyebarkan kebohongan "perangkap utang China".
Song, dari Universitas Studi Asing Beijing, menyoroti pentingnya cara Barat memandang kebangkitan China sebagai negara pemberi pinjaman baru, baik dengan sikap kompetitif atau kooperatif, yang secara langsung berdampak pada rasa saling percaya.
"Terlalu sering, pinjaman China dipandang sebagai neokolonialisme. Nyatanya, China tidak memberi pinjaman untuk keuntungan semata. Negara itu memberikan pinjaman untuk mendorong kemajuan dan kerja sama," ungkap Song.
Dalam kunjungannya ke Afrika pada Januari lalu, Menteri Luar Negeri China Qin Gang mengatakan bahwa masalah utang Afrika pada dasarnya merupakan isu pembangunan dan kerja sama pendanaan antara China dan Afrika terutama di bidang-bidang seperti pembangunan infrastruktur dan kapasitas produksi, dengan tujuan meningkatkan kapasitas Afrika untuk pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan.
Apa yang disebut sebagai "perangkap utang" adalah jebakan naratif yang ditimpakan pada China dan Afrika. Hanya rakyat Afrika yang paling tepat untuk mengatakan apakah proyek kerja sama China-Afrika berkontribusi bagi pembangunan Afrika dan peningkatan penghidupan masyarakat, imbuhnya. Selesai
(Li Li di Beijing, Meng Hanqi di Changchun, Jiang Chao dan Misbah Saba Malik di Islamabad, Jin Zheng, Li Zhuoqun, dan Li Cheng di Nairobi, Peng Lijun di Lusaka, Lv Chengcheng di Luanda, Yu Qianliang di Jakarta, dan Che Hongliang di Kolombo turut berkontribusi dalam laporan ini.)