Oleh Tian Dongdong, Liu Tian, dan Han Bing
BEIJING, 30 Juni (Xinhua) -- Negara-negara gagal bayar utang (default), inflasi melonjak, orang-orang kehilangan pekerjaan dan keluarga mereka menderita kelaparan ... Ini adalah gambaran suram yang dilukiskan oleh media Barat tentang negara-negara termiskin di dunia yang jatuh ke dalam "perangkap utang".
Lagi-lagi, China menjadi sasaran empuk untuk disalahkan. Sebuah artikel Associated Press (AP) baru-baru ini, yang berjudul "Pinjaman China mendorong negara-negara termiskin di dunia ke ambang kehancuran", menuding China membuat apa yang disebut "perangkap utang" dan melabelinya sebagai "pemberi pinjaman pemerintah terbesar dan paling tak kenal ampun di dunia".
Namun, apakah tudingan ini masuk akal?
Investigasi langsung di lapangan yang dilakukan oleh Xinhua di beberapa negara, termasuk Pakistan, Kenya, Zambia, dan Sri Lanka, menyajikan perspektif yang kontras dengan laporan AP, memberi fakta baru soal kebuntuan utang mereka.
Foto dari udara yang diabadikan pada 9 April 2022 ini menunjukkan Kenneth Kaunda International Conference Center, yang pembangunannya dibiayai oleh China, di Lusaka, Zambia. (Xinhua)
PEMBERI PINJAMAN TERBESAR BUKAN CHINA
Menurut Perbendaharaan Nasional Kenya, stok utang luar negeri Kenya mencapai 36,66 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.062) pada akhir Maret 2023. Utang itu antara lain berasal dari pemberi pinjaman multilateral (46,3 persen) dan sumber bilateral (24,7 persen). Per Maret 2023, Kenya berutang kepada entitas China, termasuk bank dan perusahaan China, sebesar 6,31 miliar dolar AS, tetapi porsi terbesar dari utang Kenya, yakni 17 miliar dolar AS, adalah utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank/WB).
Mengutip data IDS Bank Dunia, Makalah Pengarahan (Briefing Paper) berjudul "Mengintegrasikan China ke dalam Pengurangan Utang Multilateral: Kemajuan dan Masalah di DSSI G20", yang dirilis oleh Universitas Johns Hopkins pada April, menunjukkan bahwa "China (entitas China) hanya memegang 21 persen utang luar negeri publik Kenya, dengan kreditur swasta memegang 24 persen lainnya dan lembaga multilateral 45 persen."
Data yang secara eksklusif diberikan kepada Xinhua oleh Divisi Urusan Ekonomi (Economic Affairs Division/EAD) Pakistan menunjukkan bahwa per April 2023, total utang luar negeri Pakistan mencapai 125,702 miliar dolar AS, sementara pinjaman dari entitas China tercatat 20,375 miliar dolar AS, dan sekitar 4 miliar dolar AS lebih dari pihak China sebagai safe deposit, menjadikan utang entitas China di Pakistan hanya 16,2 persen dari total utang (tanpa menambahkan safe deposit).
"Ini (artikel AP) bukanlah artikel pertama. Artikel ini adalah serangkaian cerita (untuk memfitnah China)," kata Shakeel Ahmad Ramay, CEO Asian Institute of Eco-civilization Research and Development di Pakistan, kepada Xinhua.
Sementara itu, di Sri Lanka, data yang dikeluarkan oleh bank sentral dan Kementerian Keuangan, Stabilisasi Ekonomi, dan Kebijakan Nasional Sri Lanka menunjukkan bahwa per Maret 2023, utang luar negeri negara tersebut saat ini tercatat 27,6 miliar dolar AS, dengan kreditur swasta mengambil porsi terbesar senilai 14,8 miliar dolar AS (53,6 persen), kreditur multilateral 5,7 miliar dolar AS (20,6 persen). Sedangkan porsi entitas China 3 miliar dolar AS (10,8 persen).
Dalam kasus Zambia, "utang yang dipinjamkan oleh (entitas) China hanya sepertiga dari utang luar negeri Zambia. Jadi jika kita harus khawatir sebagai sebuah negara, kita harus mengkhawatirkan dua pertiganya. Dua pertiga utang ini bukan dipinjamkan oleh China (entitas China), melainkan dari donor Barat, lembaga multilateral, dan lembaga bilateral," ungkap Chibeza Mfuni, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Persahabatan Zambia-China.
"Berapa utang luar negeri Zambia? Jumlahnya lebih dari 18,6 miliar dolar AS per akhir 2022, dan berapa banyak dari 18,6 miliar dolar AS itu yang harus dibayarkan kepada entitas China? Sekitar 6 miliar dolar AS," ujar Mfuni.
Menurut statistik Bank Dunia, hampir tiga perempat dari total utang luar negeri Afrika dipegang oleh lembaga keuangan multilateral dan kreditur komersial, menjadikan mereka kreditur terbesar di Afrika, tutur Wang Zhan, anggota Studio Pakar Riset Keuangan dan Ekonomi Internasional Kementerian Keuangan China.
Singkatnya, kreditur utama Afrika berasal dari Barat, bukan dari China.
Foto yang diabadikan pada 8 Mei 2022 ini menunjukkan Jalan Tol Nairobi yang dibangun oleh China Road and Bridge Corporation (CRBC) di Nairobi, Kenya. (Xinhua/Dong Jianghui)
CHINA MEMENUHI PERANNYA DENGAN CUKUP BAIK DALAM KERINGANAN UTANG
Dalam artikel tersebut, AP mengeklaim, "Sebenarnya, China enggan untuk menghapus utang," menggambarkan negara tersebut sebagai pemberi pinjaman yang tak kenal ampun.
Menanggapi artikel AP, Song Wei, profesor di Fakultas Hubungan Internasional dan Diplomasi Universitas Studi Asing Beijing, mengatakan bahwa kontribusi China terhadap keringanan utang memberikan contoh kewajiban internasional yang diharapkan dari sebuah negara besar yang bertanggung jawab.
Di tengah meningkatnya kekhawatiran gagal bayar utang, China selalu berpegang teguh pada prinsip kesetaraan dalam hubungan bilateral dan secara proaktif berpartisipasi dalam negosiasi yang setara dan adil dengan berbagai negara, kata Song. "Selain itu, ketika G20 mengumumkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (Debt Service Suspension Initiative/DSSI) COVID-19, China segera menyatakan dukungannya."
Dalam Makalah Pengarahan itu, Deborah Brautigam, Direktur Inisiatif Riset China Afrika (China Africa Research Initiative) di Fakultas Studi Internasional Lanjutan Universitas Johns Hopkins, mengatakan, "China memenuhi perannya dengan cukup baik sebagai pemangku kepentingan G20 yang bertanggung jawab yang menerapkan DSSI dalam situasi menantang akibat pandemi COVID-19. Di 46 negara yang berpartisipasi dalam DSSI, kreditur China menyumbang 30 persen dari semua klaim, dan berkontribusi 63 persen dari penangguhan layanan utang."
Song menuturkan dia yakin China adalah mitra sejati bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan modal untuk mendukung proyek-proyek pembangunan bangsa.
"Selain itu, penangguhan dan keringanan utang harus menjadi upaya kolektif: multilateral, bilateral, komersial. Usulan China tentang tanggung jawab bersama dalam keringanan utang adalah adil dan masuk akal karena semua pihak yang terlibat merupakan kreditur. Tidak adil jika hanya satu pihak yang menanggung beban pengurangan utang sementara yang lain dibebaskan dari tanggung jawab mereka," kata Song.