Sejumlah robot melakukan pekerjaan pengelasan di bengkel kerja milik sebuah pabrik mobil di Qingdao, Provinsi Shandong, China timur, pada 14 Januari 2023. (Xinhua/Zhang Jingang)
Sebuah diskusi politik yang kritis tentang modernisasi di China saat ini sedang berlangsung. Terdapat dua jenis modernisasi yang diperdebatkan, yakni modernisasi ala Barat dan modernisasi dengan karakteristik China.
Oleh Beat Schneider
Sebuah diskusi politik yang kritis tentang modernisasi di China saat ini sedang berlangsung. Terdapat dua jenis modernisasi yang diperdebatkan, yakni modernisasi ala Barat dan modernisasi dengan karakteristik China.
Modernisasi Barat biasanya dikaitkan dengan pergolakan budaya di Eropa, apa yang disebut modernitas, yang diprakarsai oleh proses kompleks pencerahan (enlightenment), sekularisasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, atau revolusi borjuis. Oleh karena itu, modernitas menjadi lambang emansipasi, kemajuan, dan modernisasi masyarakat. Sejak saat itu, istilah modernisasi dan modernitas tampaknya memperoleh karakter normatif dan universal. Konsep-konsep tersebut telah meresap dalam pikiran kita di seluruh penjuru dunia.
Meskipun kemajuan digambarkan sebagai proses modernisasi universal, hal itu berkaitan dengan pandangan yang bersifat sempit, eurosentris, dan partisan. Pandangan tersebut memahami sejarah dunia sebagai sejarah Oksidental-Barat, sebagai proses perampasan terhadap dunia non-Eropa, sampai batas tertentu sebagai jalur satu arah bagi Westernisasi di seluruh dunia, sebagai ekspor peradaban Barat-kapitalis dan Kristen-Oksidental yang "superior," entah itu dalam bentuk kampanye dan kegiatan misionaris atau dalam bentuk penjajahan dan terkadang perbudakan. Dalam kasus mana pun, hasilnya adalah subordinasi peradaban nonkulit putih.
Hasilnya pada abad ke-19 memecah dunia menjadi dua bagian, yaitu dunia orang kaya berisi kaum minoritas yang memiliki hak istimewa di Global North, dan dunia orang miskin berisi mayoritas rakyat yang terjajah dan kurang mampu di Global South.
Dikotomi tersebut merupakan model bisnis yang tidak dipertanyakan di Eropa untuk waktu yang lama karena menguntungkan dari segi ekonomi dan terjamin dengan baik dari segi budaya, agama, dan filosofi. Diketahui secara luas bahwa model itu merupakan model yang menghancurkan. Untuk model tersebut, rakyat yang dijajah, khususnya, dan para korban yang tak terhitung jumlahnya dari perang-perang dunia yang dipicu oleh pihak Barat pada abad ke-20, harus membayar mahal dengan nyawa mereka. Eropa mampu membeli demokrasi borjuis dan serangkaian hak, yaitu liberalisme dan hak asasi manusia individu serta kolonialisme dan rasisme.
Seorang staf bekerja di sebuah bengkel kerja milik Novo Nordisk (China) Pharmaceutical Co., Ltd. di Tianjin, China utara, pada 22 September 2022. (Xinhua/Li Ran)
Bahkan saat ini, oligarki kapitalis kecil dari kaum yang memiliki hak istimewa di negara-negara G7 (Amerika Serikat/AS, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang) berusaha untuk mendominasi populasi dunia lainnya menggunakan paksaan dan kekerasan. Dalam masyarakat Barat, hal itu dapat bergantung pada keterlibatan kelas-kelas lain yang memiliki hak istimewa (borjuis sekunder, pekerja dengan upah yang memiliki hak istimewa, dan sebagian kaum terpelajar). Ini adalah fakta-fakta sejarah yang menyedihkan dari perspektif non-Eurosentris.
Modernisasi, atau lebih tepatnya pencapaian dari revolusi ilmiah-teknis dan kapitalis, hanya dinikmati oleh sekelompok kecil negara yang memiliki hak istimewa. Bagi negara-negara lainnya, konsep tersebut tetap menjadi mimpi yang tak tergapai.
Namun, ada titik balik pada abad ke-20. Untuk pertama kalinya, masyarakat yang terjajah di negara-negara yang disebut sebagai negara Dunia Ketiga didorong untuk mengejar emansipasi antikolonial dan meraih buah modernisasi. Bagi banyak negara, Revolusi Oktober Rusia merupakan titik awal dari proses liberasi antikolonial, yang dimulai pada dekade-dekade setelah Perang Dunia II. Namun, proses itu sebagian besar terhenti di kemerdekaan formal dan harus menerima adanya ketergantungan neokolonial terhadap imperialisme Barat.
Proses dekolonisasi terhenti sepenuhnya setelah tatanan dunia monopolar terbentuk pada tahun 1990-an, dan AS, satu-satunya kekuatan dunia yang tersisa, kembali merasa terdorong untuk mengejar kebijakan luar negeri kolonialis militer yang lebih agresif (Panama, Perang Teluk, Yugoslavia, Afghanistan, Libya, Suriah, dan sebagainya).
Saat ini, kita menyaksikan bahwa tatanan dunia monopolar di bawah hegemoni AS perlahan berakhir. Sementara itu, banyak hal telah terjadi dari segi ekonomi dan politik. Para pemain baru, termasuk China dan negara-negara emerging besar lainnya, telah memasuki arena geopolitik. Apa yang disebut sebagai Konsensus Washington, kartel kekuatan Barat dengan pilar-pilar institusionalnya, tengah dipertanyakan.