Foto dari udara yang diabadikan pada 7 Juni 2022 ini memperlihatkan pemandangan perkebunan hutan Gunung Guanshan di Wilayah Otonom Etnis Hui Zhangjiachuan di Tianshui, Provinsi Gansu, China barat laut. (Xinhua/Chen Bin)
LANZHOU, 13 Juni (Xinhua) -- Saat aroma wangi bunga lilac dan peony memenuhi udara yang dibawa hembusan angin sejuk, dua pria lanjut usia terlihat sibuk menyirami dan memangkas bibit tanaman di pegunungan, dengan pinus, picea, palem, dan pohon ara yang tumbuh subur di sekitar mereka.
"Pegunungan ini dahulu tandus, tetapi sekarang semuanya sudah tertutup oleh pepohonan," kata salah satu dari mereka dengan bangga. Senyum yang serasi menghiasi wajah mereka, memperlihatkan ikatan darah yang tak diragukan lagi di antara keduanya.
Xu Zhigang dan Xu Zhiqiang, dua saudara kembar yang lahir pada tahun 1948 di Desa Zhangchuan, wilayah Tongwei, Provinsi Gansu, China barat laut, dengan tangan mereka sendiri mengubah lereng gunung yang tandus di Dataran Tinggi Loess selama 55 tahun dengan menanam puluhan ribu pohon.
Wilayah Tongwei terletak di daerah gersang Kota Dingxi, menjadikannya salah satu area terkering di China barat.
Ketika Xu bersaudara masih muda, tanaman hijau menjadi pemandangan langka di Tongwei. Dengan curah hujan yang rendah dan tingkat penguapan yang tinggi, desa mereka kerap mengalami kekeringan dan tanah longsor. Masyarakat yang tinggal di sana sudah lama diterpa kemiskinan.
"Jika kami tidak menanam pohon untuk memperbaiki lingkungan hidup, tidak akan ada kesempatan bagi kami selain menjadi lebih miskin dari generasi ke generasi," ujar Xu Zhigang, sang kakak di antara dua saudara kembar itu.
Meski memiliki kemiripan yang mencolok, kakak beradik itu memiliki kepribadian yang berbeda. Xu Zhiqiang, sang adik, memiliki sifat yang lebih keras kepala dan supel dibandingkan kakaknya. Namun, tekad mereka yang sama untuk membawa perubahan positif telah menyatukan mereka.
Upaya untuk menghidupkan kembali pegunungan yang tandus itu dimulai pada 1968. Dengan hanya berbekal sekop, Xu Zhigang dan Xu Zhiqiang, yang saat itu baru berusia 20 tahun, menanam pohon pertama di sebuah bukit tandus di dekat rumah mereka.
"Masa-masa awal sangat menantang. Kami hampir tidak punya uang untuk membeli makanan, apalagi bibit rumput dan anakan pohon," kenang Xu Zhigang, sambil berdiri di bawah pohon pertama yang dia tanam pada 1968.
"Istri saya awalnya tidak setuju. Terkadang, kami bahkan harus berbohong kepada keluarga kami demi membiayai rencana ambisius kami," ungkapnya. "Misalnya, jika saya telah menjual 50 kilogram biji-bijian, saya hanya menyerahkan uang hasil penjualan 35 kilogram biji-bijian kepada istri saya dan sisanya saya simpan untuk membeli pohon."
"Ketika dia menanyakan harga bibit pohon yang saya beli, saya sengaja menyebutkan harga yang jauh lebih murah untuk meredam amarahnya," ungkap sang kakak sambil tersipu malu.
Selama masa muda mereka, keduanya mendedikasikan hampir seluruh waktu luang mereka untuk menanam pohon, membawa air ke atas gunung dan merawat setiap pohon muda. Namun perjuangan mereka tidak hanya soal menanam pohon, mereka juga harus memastikan kelangsungan hidup pohon dalam iklim yang tidak ramah.
Gunung itu sangat berbatu dan tandus sehingga kebanyakan pohon yang mereka tanam tidak berumur panjang. "Tidak ada satu pun pohon yang bertahan. Tetapi kami tidak menyerah. Pada tahun berikutnya, kami menanam lebih banyak bibit pohon, dan bertekad untuk bertahan di pegunungan tandus ini," kata Xu Zhiqiang.
Semakin banyak mereka menanam, semakin banyak pula yang mereka pelajari tentang tanaman. Dengan bantuan yang tak ternilai dari pemerintah setempat dan para pakar, mereka dengan cermat memilih spesies pohon yang sesuai dan mengasah keterampilan mereka dalam hal pelestarian tanah. Hasilnya, tingkat kelangsungan hidup pohon-pohon yang mereka tanam pun secara bertahap meningkat dari waktu ke waktu.
Lebih dari 50 tahun telah berlalu. Rambut keduanya kini pun sudah berubah menjadi keabu-abuan dan kerutan menghiasi wajah mereka. Di tengah perjalanan waktu tersebut, 80.000 lebih pohon dari 20 lebih spesies kini sudah menjulang kokoh dan mengubah pegunungan yang sebelumnya tandus itu menjadi lanskap yang indah, menarik pengunjung dari berbagai penjuru.
"Setelah seharian bekerja keras di ladang, kami menemukan penghiburan dengan memandangi dedaunan hijau yang rimbun, langit biru yang tenang, dan mendengarkan kicauan burung yang merdu," ujar Xu Zhigang, sambil menunjuk ke arah hutan nan luas di belakang rumahnya.
Kisah tekad mereka yang tak tergoyahkan telah menginspirasi banyak orang untuk bergabung dalam upaya penanaman pohon di daerah tersebut selama bertahun-tahun. Menjelang Hari Dunia untuk Memerangi Penggurunan dan Kekeringan, yang jatuh pada 17 Juni tahun ini, kisah luar biasa Xu bersaudara kembali menarik perhatian, yang menyoroti kerja keras mereka.
Tahun lalu, departemen kehutanan setempat melaporkan tingkat tutupan hutan telah bertambah menjadi 12,1 persen dari total daratan Kota Dingxi, yang mencakup area seluas 230.933 hektare.
Meskipun telah berusia 70-an tahun, kedua bersaudara itu tetap memilih untuk menetap di dekat pegunungan tersebut dan melanjutkan upaya penghijauan mereka dengan bantuan anak-anak mereka. Di waktu senggangnya, mereka sepenuhnya menikmati hidup dengan memanjakan diri lewat seni lukis China dan membuat ukiran akar pohon.
"Kami ingin menanam lebih banyak pohon dan bunga. Suatu hari nanti, kami dapat mewariskan hutan yang rimbun ini kepada generasi penerus, melestarikan keindahannya yang abadi dan memberikan ketenteraman bagi semua orang," ucap Xu Zhiqiang. Selesai