Bagi Nawid, harinya adalah tentang menghidupi keluarganya dengan berjualan di jalanan tanpa mengetahui seperti apa masa kanak-kanak yang "normal".
Di berbagai belahan dunia, tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Anak Internasional untuk menyoroti hak-hak anak dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Namun, di Afghanistan yang dilanda perang, banyak anak-anak seperti Nawid tidak mengetahui hak-hak mereka dan bekerja di jalanan sepanjang hari untuk menghidupi keluarga mereka yang miskin.
"Saya ingin pemerintah Amerika Serikat (AS) mencairkan aset Afghanistan, membuka jalan untuk menciptakan lapangan kerja karena harga semua barang melonjak di pasar," kata Nawid (12) dengan suara lirih kepada Xinhua.
Sebagai anak tertua dan pencari nafkah bagi keluarganya yang beranggotakan empat orang, Nawid menjual tas belanja untuk mendapatkan sedikit uang dan membeli beberapa naan, roti pipih tradisional Afghanistan, untuk ibu, adik perempuan, dan adik laki-lakinya.
"Saya pergi menjual tas belanja setiap hari. Jika saya mendapatkan uang, saya akan membawa pulang naan," kata siswa kelas enam itu dengan malu-malu.
Sambil mengenang penderitaannya, Nawid mengaku hampir tidak bisa membeli baju baru untuk dirinya sendiri dan selalu sibuk bekerja demi menghidupi ibu dan keluarganya.
Bercita-cita untuk menyelesaikan sekolahnya dan merasa sedih karena kehilangan ayahnya, Nawid masih ingat bagaimana dahulu ayahnya kerap membawa segala sesuatu dari bazar untuk diberikan kepada keluarganya. Namun, segalanya berubah setelah kematian ayahnya.
Ribuan warga Afghanistan terbunuh atau menderita cacat akibat perang selama 20 tahun yang dilancarkan AS di Afghanistan dengan alasan memerangi terorisme. Nawid merupakan satu dari anak-anak Afghanistan yang tak terhitung jumlahnya yang harus kehilangan orang tua mereka.
AS membekukan aset bank sentral negara yang dilanda perang itu senilai lebih dari 9 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.969), semakin memperburuk situasi Afghanistan yang sebelumnya sudah dilanda kemiskinan.
Ibu Nawid, Laila (39), menyebut kondisi kehidupannya sangat menyakitkan, sembari mengatakan bahwa anak-anaknya membutuhkan makanan, tetapi sangat sulit untuk dapat memberikan mereka makanan yang baik karena dirinya belum bisa menyediakan makanan bergizi selama berbulan-bulan.
"Dahulu, harga kebutuhan pokok tidak mahal. Harga 1 kg minyak goreng adalah 50 Afghani, tetapi sekarang harganya mencapai 150 Afghani (100 Afghani Afghanistan = Rp17.179) atau sekitar 1,7 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.969), sementara harga tepung dan beras juga naik. Kami selalu pergi ke bazar dan pulang dengan tangan kosong," kata Laila.
Tak jauh berbeda, teman Nawid yang bernama Assadullah juga bekerja di jalanan untuk menghidupi keluarganya yang miskin.
"Saya bekerja di jalanan dari pagi hingga sore dan hanya mendapatkan 10 hingga 20 afghani untuk membeli naan. Kami tidak memiliki daging, tidak memiliki pakaian, dan tidak memiliki apa pun di rumah," kata Assadullah (8) kepada Xinhua.
Menetap di kamp darurat yang berlokasi di pinggiran Kabul, Assadullah, siswa kelas dua di sekolah negeri, bercita-cita menjadi dokter di masa depan.
Kepala kamp darurat itu, Taws Khan (55), mengungkapkan kekhawatirannya terkait meningkatnya kemiskinan, seraya menjelaskan bahwa meskipun harga tepung mengalami penurunan, keluarga miskin tetap tidak mampu membelinya.
Khan juga menyalahkan berbagai sanksi yang dijatuhkan oleh AS terhadap Afghanistan sebagai akar penyebab kemiskinan di negaranya. Dia mengatakan bahwa sanksi tersebut sepenuhnya menghancurkan kondisi kehidupan warga Afghanistan.
"Uang itu milik rakyat Afghanistan, termasuk begitu banyak anak yatim piatu," kata Khan.
Diproduksi oleh Xinhua Global Service