Orang-orang berunjuk rasa untuk memprotes rencana pemerintah Jepang membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut, di Tokyo, Jepang, pada 16 Mei 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)
Tipu dayanya terlalu gamblang: Pemerintah Jepang yang mementingkan kepentingannya sendiri berusaha untuk meredam penolakan yang datang dari dalam maupun luar negeri serta menyetujui rencana pembuangan yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab.
TOKYO, 19 Mei (Xinhua) -- Pemerintah Jepang terus bersikeras terkait rencana pembuangan air limbah yang terkontaminasi nuklir ke laut. Tokyo bahkan mencoba berbagai cara agar rencana berbahaya tersebut tampak lebih dapat diterima.
Percobaan awal dimulai tahun lalu berkaitan dengan air laut di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima yang lumpuh tersebut, demi menunjukkan keamanan air. Sekelompok kecil koki, pemilik restoran, dan pedagang retail pada Maret lalu diundang untuk mencicipi makanan khas Fukushima. Bahkan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) menjadi saksi upaya Jepang merayu sekutu-sekutunya untuk memercayai bahwa bahan-bahan makanan dari prefektur tersebut aman.
Tipu dayanya terlalu gamblang: Pemerintah Jepang yang mementingkan kepentingannya sendiri berusaha untuk meredam penolakan yang datang dari dalam maupun luar negeri serta menyetujui rencana pembuangan yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab.
Kekhawatiran utama adalah air yang terkontaminasi itu sendiri.
Setelah mengalami kerusakan inti, PLTN itu menghasilkan air yang tercemar radiasi dalam jumlah besar. Zat seperti tritium, produk sampingan radioaktif dari reaktor nuklir, sulit tersaring. Selain itu, terdapat juga jejak isotop rutenium, kobalt, strontium, dan plutonium yang terkandung di dalam air limbah tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, Samudra Pasifik terancam mengalami pencemaran yang sangat besar akibat tindakan Jepang yang tidak bertanggung jawab dan tanpa rasa malu itu. Sejumlah proyeksi menunjukkan bahwa jika air yang terkontaminasi dari Fukushima dilepaskan ke laut, maka hanya perlu waktu tujuh bulan bagi air tersebut untuk mencapai pantai Pulau Jeju di Korea Selatan, dan menjangkau Pantai Barat AS dalam beberapa tahun.
Orang-orang berunjuk rasa di depan Gedung Kantor Anggota Kedua Dewan Perwakilan Rakyat untuk memprotes rencana pemerintah Jepang membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut di Tokyo, Jepang, pada 16 Mei 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)
Selain itu, para pengambil keputusan di Jepang yang keras kepala melanjutkan rencana yang mendapat banyak kecaman ini tanpa melakukan diskusi yang cukup berbasis ilmu pengetahuan dan profesional, serta komunikasi penuh dengan publik. Langkah tidak bertanggung jawab mereka pun memicu protes keras baik di dalam dan luar negeri.
Pada April 2021, pemerintah Jepang mengumumkan rencana kontroversialnya untuk membuang air limbah yang telah diencerkan ke lautan, dengan mengeklaim bahwa pembuangan tersebut merupakan solusi yang "paling realistis", padahal kenyataannya tidak demikian. Meskipun negara-negara tetangga telah menyuarakan kekhawatirannya, pemerintah Jepang menolak untuk mengubah pikiran dan mengatakan pada Januari bahwa pembuangan air limbah tersebut akan dimulai "pada musim semi atau musim panas."
Seiring kian dekatnya tenggat waktu untuk rencana pembuangan tersebut, ratusan warga Jepang pada Selasa (23/5) berkumpul di beberapa lokasi di Tokyo untuk memprotes rencana pemerintah itu dan menuntut penangguhan segera.
Menurut sebuah jajak pendapat baru-baru ini, lebih dari 43 persen masyarakat Jepang menentang pembuangan limbah ke laut dan lebih dari 90 persen warga yakin bahwa langkah tersebut akan menimbulkan dampak negatif. Jika pemerintah Jepang tidak dapat meyakinkan rakyatnya sendiri, bagaimana mungkin mereka bisa mengharapkan kepercayaan dari komunitas internasional?
Terlebih lagi, pemerintah Jepang telah memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang menempatkan kepentingan ekonomi di atas segalanya.
Sejumlah warga Korea Selatan ikut berunjuk rasa di depan kantor pusat Tokyo Electric Power Company (TEPCO) untuk memprotes rencana pemerintah Jepang membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut di Tokyo, Jepang, pada 16 Mei 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)
Alih-alih menyusun rencana yang lebih baik untuk mengatasi isu tersebut, pemerintah dan Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator PLTN yang lumpuh itu, justru mengeklaim bahwa tempat penampungannya sudah hampir penuh dan mereka akan membuang lebih dari satu juta ton air limbah ke laut, yang menunjukkan ketidakpedulian yang gegabah atas pilihan-pilihan alternatif yang diajukan oleh publik.
Bahkan, para pakar dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang serta organisasi nonpemerintah telah menyarankan alternatif pembuangan lainnya, seperti pelepasan uap, pelepasan hidrogen, injeksi geosfer, atau penimbunan di bawah tanah.
Jika Tokyo atau TEPCO bertekad untuk mengatasi kekurangan tempat penyimpanan, mereka pasti akan menemukan alternatif yang aman dan bertanggung jawab. Yang mengejutkan sekaligus memilukan, perusahaan tersebut mengatakan bahwa proses negosiasi dengan pemerintah daerah dan pemilik tanah akan memakan waktu yang terlalu lama.
Samudra Pasifik bukan milik Jepang. Jika Tokyo bersikeras dengan rencana pembuangan air limbah nuklir yang berbahaya dan beracun tersebut, Jepang akan menorehkan jejak dosa yang tak terhapuskan dalam sejarahnya akibat tindakannya yang tidak bertanggung jawab. Selesai
(Zhang Yiyi, Qian Zheng di Tokyo, dan Yoo Seungki di Seoul turut berkontribusi dalam artikel ini).