Sekitar 30 tahun kemudian, Nikkei 225, indeks saham perusahaan-perusahaan besar Jepang, masih belum kembali ke puncaknya pada 1989, yang saat itu nyaris menyentuh angka 39.000, sedangkan tiga indeks saham utama AS telah melonjak lebih dari 1.000 persen.
Anggota G7 lainnya sama sekali tidak kebal terhadap intimidasi ekonomi Washington. Siemens Jerman dan Alstom Prancis menjadi sasaran empuk bagi praktik penindasan negara adidaya tersebut.
Orang-orang membentangkan spanduk berisi ujaran yang menentang KTT Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) mendatang di lokasi serangan bom atom dekat Peace Memorial Park di Hiroshima, Jepang, pada 14 Mei 2023. Ratusan warga Jepang turun ke jalan di Kota Hiroshima, Jepang, pada akhir pekan untuk memprotes rencana penyelenggaraan KTT G7 mendatang. (Xinhua/Yang Guang)
Bagi mereka, mendorong pelaku intimidasi untuk meninggalkan perilaku koersif atau pemerasan lebih lanjut, alih-alih berperan sebagai kaki tangan yang patuh atau pendukung yang tidak sadar, mungkin menjadi langkah masuk akal pertama menuju target yang mereka dengungkan yaitu "menjaga keamanan ekonomi".
Pada 2021, AS menerapkan lebih dari 9.400 sanksi dan memberlakukan sanksi ekonomi sepihak ke hampir 40 negara di seluruh dunia, yang memengaruhi hampir separuh populasi dunia.
China juga tak luput dari koersi ekonomi AS. Menggunakan alasan yang dibuat-buat untuk menekan industri teknologi tinggi China, Washington memasukkan lebih dari 1.000 perusahaan China ke dalam daftar sanksi.
Selain memperkenalkan CHIPS dan Science Act of 2022 dan serangkaian kontrol ekspor pada teknologi dan peralatan pembuat cip ke China, AS juga menekan para sekutunya untuk memberlakukan pembatasan serupa pada sejumlah rangkaian teknologi semikonduktor yang menargetkan China.
Dengan membesar-besarkan tuduhan "koersi ekonomi" yang tidak berdasar, Washington setidaknya memiliki dua motif tersembunyi, yaitu untuk memfitnah China dan memaksa sekutunya untuk mengurangi interdependensi ekonomi. Keduanya tentu tidak akan berhasil.
Alasannya, di satu sisi, Beijing tidak pernah mengadopsi "koersi ekonomi" mana pun, dan di sisi lain, hanya sedikit negara di dunia yang akan menyia-nyiakan peluang pembangunan yang dihasilkan oleh prospek ekonomi China yang stabil dan komitmennya terhadap keterbukaan tingkat tinggi.
Pada kenyataannya, di saat AS berusaha menghasut sekutu-sekutunya untuk melepaskan diri dari China, banyak perusahaan Eropa justru mempercepat langkah masuk mereka ke pasar terbesar kedua di dunia itu. Data awal dari Institut Ekonomi Jerman IW mencatat bahwa perusahaan-perusahaan Jerman saat ini terus meningkatkan investasinya di China.
"Fakta bahwa pasar China akan terus memainkan peran penting di masa depan tidak perlu dipersoalkan lagi," kata Wolfgang Niedermark, anggota Dewan Eksekutif Federasi Industri Jerman BDI, seperti dikutip Reuters.
Pada April lalu, selama kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke China, dirinya didampingi oleh perwakilan bisnis yang kuat, termasuk pabrikan pesawat Eropa Airbus, raksasa produk mewah LVMH, dan perusahaan listrik terbesar Prancis EDF, dalam upaya meningkatkan hubungan komersial. Pada April yang sama, Airbus dan mitra Chinanya menandatangani perjanjian untuk memperluas kapasitas perakitan akhir keluarga A320 dengan lini kedua di lokasinya di Kota Tianjin, China utara. Lini perakitan baru ini akan berkontribusi pada target Airbus untuk memproduksi 75 unit pesawat keluarga A320 per bulan pada 2026 melalui jaringan produksi globalnya.
Bahkan, keretakan sudah terlihat di dalam G7 sejauh menyangkut isu-isu terkait China. Pada pertengahan Mei, terlepas dari upaya Menteri Keuangan AS Janet Yellen untuk menyebarkan narasi "koersi ekonomi", komunike yang dikeluarkan setelah pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G7 itu sama sekali tidak menyebut China.
Seorang pria yang memegang spanduk memprotes penyelenggaraan KTT Kelompok Tujuh (G7) mendatang, di Hiroshima, Jepang, pada 17 Mei 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)
G7, kelompok eksklusif ekonomi industri yang dibentuk pada era Perang Dingin, didirikan dengan tujuan utama untuk memfasilitasi inisiatif ekonomi makro bersama dalam menanggapi masalah-masalah ekonomi kontemporer. Meskipun pangsa kelompok tersebut dalam PDB global telah menurun dari semula hampir 70 persen pada 1989 menjadi sekitar 40 persen pada 2021, kelompok itu sebenarnya memunculkan berbagai masalah ekonomi ke dunia, alih-alih menyelesaikannya, dan hanya memberikan janji-janji kosong untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua.
Mengingat kelompok tersebut bahkan tidak mampu mengatasi keretakan internalnya atau menindaklanjuti janji-janjinya, upaya AS untuk menekan kebangkitan China bersama dengan sekutu G7 lainnya, masing-masing dengan senjatanya sendiri, hanya akan berakhir sia-sia. Selesai