Pengunjuk rasa yang membawa spanduk dan poster terlihat di dekat stasiun kereta shinkansen Karuizawa di Prefektur Nagano, Jepang, pada 16 April 2023. Para menteri luar negeri negara anggota Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) berkumpul di kota resor Karuizawa, Prefektur Nagano, Jepang tengah, di tengah aksi unjuk rasa oleh warga untuk menentang blok tersebut. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)
Jika G7, klub negara kaya yang tidak representatif, ketinggalan zaman, dan jelas tidak memadai, serta tidak sesuai dengan fungsinya benar-benar ingin meninggalkan jejak dalam sejarah, mereka sepatutnya membubarkan saja kelompok tersebut, hitung-hitung menghemat uang para pembayar pajak. Jika tidak, keberadaannya hanya akan menjadi setitik debu yang akhirnya terlupakan dalam gelombang sejarah.
Oleh Xin Ping
Dalam beberapa hari terakhir, hotel dan restoran di Hiroshima, Jepang, menstok sampanye dan kaviar sebanyak mungkin untuk menjamu beberapa tamu penting yang datang ke kota itu untuk mengikuti "reuni keluarga" tahunan.
Mereka adalah "keluarga" kecil, dengan hanya tujuh anggota, yang disebut Kelompok Tujuh atau Group of Seven (G7), sebuah klub eksklusif dengan keanggotaan seumur hidup yang menyatukan Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Judul singkat namun kuat dari kelompok ini mengingatkan pada kejayaan ketujuh negara industri tersebut di masa lalu. Memang, hampir 40 tahun yang lalu, Produk Domestik Bruto (PDB) mereka menyumbang nyaris 70 persen dari total PDB dunia. Kekayaan dan ideologi nonkomunis mereka memberi mereka rasa superioritas yang bertahan hingga saat ini, dan rasa tanggung jawab yang sayangnya memudar seiring waktu.
Tak jauh berbeda dari kota-kota tuan rumah sebelumnya, Hiroshima melihat banyak acara seremonial dan perjamuan megah, di samping banyaknya pembicaraan kosong dan diskusi tanpa tujuan yang jelas. Sebuah komunike hambar biasanya akan dirilis pada penghujung acara tahunan itu, yang menilai negara-negara lain berdasarkan standar G7, dengan beberapa sentuhan di sana-sini demi menyembunyikan beberapa keretakan yang terlihat dalam kelompok tersebut. Meski demikian, publik pasti akan tetap menanyakan pertanyaan yang sama, akankah G7 memberikan sesuatu yang mampu membantu tata kelola global?
Berbeda dengan masa ketika G7 didirikan pada tahun 1970-an guna memulihkan tatanan ekonomi dunia, kelompok itu mulai memasukkan lebih banyak isu internasional seperti kontraterorisme, pengendalian senjata, perubahan iklim, dan lain-lain sejak tahun 1980-an. Kendati diskusi telah mencakup lebih banyak pertemuan di berbagai tingkatan, selain dari anggaran yang terus meningkat untuk persiapan KTT, konferensi tersebut tampaknya menjadi lebih ritualistik ketimbang substantif, karena jarang mengedepankan resolusi yang berguna untuk isu-isu mendesak yang dihadapi dunia.
Sejumlah orang membentangkan spanduk untuk memprotes rencana penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) di lokasi penjatuhan bom atom dekat Taman Monumen Perdamaian di Hiroshima, Jepang, pada 14 Mei 2023. Ratusan warga Jepang turun ke jalan di Kota Hiroshima selama akhir pekan tersebut untuk memprotes rencana penyelenggaraan KTT G7. (Xinhua/Yang Guang)
Di bidang ekonomi, kelompok negara kaya yang sudah ketinggalan zaman itu terpaksa mencari bantuan dari perekonomian-perekonomian berkembang untuk menyelamatkan diri dari krisis. Tepat setelah jatuhnya Lehman Brothers yang menandakan krisis keuangan global 2008, Kelompok 20 (Group of Twenty/G20) berkumpul di Washington dan menghasilkan sebuah rencana. Sejak saat itu, kelompok yang lebih representatif yang mewakili sekitar 80 persen dari PDB dunia itu dianggap sebagai alternatif dari G7.
Respons negara-negara G7 dalam menangani pandemi COVID-19 secara khusus juga mengundang pertanyaan tentang kompetensi dan keseriusan G7 dalam menuntun dunia. Pada puncak pandemi, negara-negara G7 diperkirakan telah menimbun 1 miliar dosis vaksin cadangan per akhir 2021. Satu miliar dosis vaksin yang kemudian diputuskan oleh para pemimpin G7 untuk diberikan kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah pada 2022 itu masih jauh dari target 11 miliar dosis vaksin yang dibutuhkan, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para pegiat. Beberapa negara kaya akhirnya juga setuju untuk melepaskan paten vaksin setelah hampir dua tahun proses negosiasi. Guna mengatasi kontraksi ekonomi yang tajam akibat COVID-19, negara-negara G7 merespons dengan serangkaian langkah stimulus besar-besaran, yang pada akhirnya memperburuk inflasi, terutama di negara-negara berkembang.