Menurut dokumen pengadilan yang diajukan sebagai bukti, kepala kepolisian tersebut mendorong mereka untuk "merenungkan dan memperbaiki" kesalahan mereka, menekankan bahwa pihak musuh dapat mengeksploitasi kesalahan semacam itu untuk merusak keamanan nasional.
Pengadilan tinggi mengatakan bahwa kota-kota kamp dioperasikan untuk "mempertahankan aliansi militer yang penting bagi keamanan nasional" serta memperoleh mata uang asing dengan memberikan "layanan yang ramah" kepada tentara AS dan membangkitkan "akal sehat" mereka.
Pendapatan dari "layanan yang ramah" itu terbilang signifikan. Pada 1960-an, sekitar 25 persen dari Produk Nasional Bruto (PNB) Korsel berasal dari perdagangan seks dan bisnis terkait di kota-kota kamp, kata Woo Soon-duk, Direktur Sunlit Sisters' Center, kelompok advokasi untuk perempuan gijichon, dalam sebuah artikel pada 2019.
MEMPRIORITASKAN TENTARA AS
Para pekerja seks di kota kamp dipuji sebagai "patriot penghasil dolar" ketika mereka mengikuti kelas bulanan yang disponsori oleh pemerintah Korsel dan militer AS untuk memberikan edukasi tentang kecantikan, kebersihan, dan percakapan bahasa Inggris sederhana, menurut putusan pengadilan.
Foto yang diabadikan pada 13 Mei 2023 ini memperlihatkan sebuah bangunan yang tertutup sebagian yang disebut "rumah monyet" di Dongducheon, Korea Selatan. (Xinhua/Wang Yiliang)
Dalam kelas-kelas wajib yang diikuti oleh para pegawai pusat kesehatan, kepala polisi, kepala daerah di Korsel, dan petugas unit medis militer AS, para pengajar menekankan pentingnya menjalani tes penyakit menular seksual (PMS) sebanyak dua kali dalam sepekan bagi para pekerja seks guna melindungi tentara AS.
"Dipuji sebagai patriot, kami menghasilkan banyak dolar ... Bahkan jika kami mengalami rasa sakit yang mematikan, kami tidak menemui dokter tetapi hanya dites untuk PMS. Tes PMS dilakukan untuk tentara AS atas permintaan militer AS, bukan untuk kami," kata salah satu penggugat di persidangan.
Mereka yang teruji positif mengidap penyakit kelamin ditahan dan dibawa ke fasilitas perawatan medis yang disebut "rumah monyet". Di tempat tersebut, mereka diberi penisilin dengan dosis tinggi dan merasakan kesakitan yang luar biasa di balik jendela berjeruji.
"Tentara AS dari pangkalan militer AS memberikan penisilin kepada para wanita yang ditahan," kata Park Su-mi, aktivis Durebang, pusat konseling untuk para perempuan gijichon, kepada Xinhua dalam wawancara tertulis, mengutip kesaksian dari seorang penyintas yang mengatakan bahwa banyak rekannya meninggal atau lumpuh akibat overdosis.
Park mengatakan bahwa mereka yang selamat usai mengalami penicillin shock masih mengalami trauma fisik dan mental hingga saat ini.
Karena dokter-dokter lokal menghindari pemberian penisilin akibat seringnya penicillin shock terjadi, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel mengirim surat kepada jaksa penuntut pada Februari 1978, meminta mereka untuk menyelidiki kasus tersebut dengan saksama dan membebaskan tim dokter yang mengambil tindakan darurat, menurut surat yang diserahkan ke pengadilan.
Pegawai pusat kesehatan Korsel secara acak melakukan razia gabungan bersama militer AS di kota-kota kamp untuk "memburu" para perempuan yang menghindari tes PMS atau tidak memiliki kartu tes yang valid.
Selain razia, penahanan, dan pemberian penisilin tanpa diagnosis dokter, para pekerja seks juga menjadi korban pemukulan, aborsi paksa, serta penyitaan uang oleh muncikari dan tentara AS.
Para muncikari bersekongkol dengan pejabat pemerintah dan polisi, yang menutup mata dan tidak menyelidiki tindak kejahatan seperti pembunuhan, penyerangan, dan pengurungan oleh tentara AS, menurut para penggugat.
"Kami ditelantarkan di negara tempat kami dilahirkan ... Meskipun saya saat itu masih remaja, tidak ada orang dewasa yang membantu saya ... Saya sangat takut dan membenci situasi ini sehingga saat saya melarikan diri dan meminta bantuan, keberadaan saya diberitahukan kepada muncikari yang memukuli saya dan menjual saya ke tempat lain setelah menaikkan jumlah utang saya," kata salah satu penggugat di pengadilan.
Foto yang diabadikan pada 13 Mei 2023 ini memperlihatkan sebuah bangunan yang tertutup sebagian yang disebut "rumah monyet" di Dongducheon, Korea Selatan. (Xinhua/Wang Yiliang)
Ahn-Kim mengatakan kepada Xinhua bahwa para penggugat akan membawa kasus mereka ke AS, menyebut kemenangan hukum atas pemerintah Korsel sebagai "hadiah kecil" untuk mengompensasi penderitaan berkepanjangan yang dialami para korban yang masih hidup.
Sembari mempersiapkan pertarungan hukum di AS, Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia Wanita Penghibur Pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea (United States Army Forces in Korea/USAFIK) telah menyerahkan laporan mengenai isu pekerja seks kota kamp ke Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW), katanya.
"Saat ini kami berencana untuk membawa isu tersebut ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk meminta pertanggungjawaban AS," tambahnya. Selesai
(Reporter video: Chen Yi, Yoo Seungki, Jin Haomin, Yang Chang; Editor video: Wu Yao, Hui Peipei, Shi Peng)