*Korsel telah memberikan kontribusi keuangan yang signifikan untuk kehadiran militer AS di wilayahnya, termasuk biaya untuk penempatan Pasukan AS di Korea Selatan (United States Forces Korea/USFK).
*Biaya tinggi lainnya adalah layanan seks bagi tentara AS yang berbasis di sana. Sejak Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, Korsel memprioritaskan aliansi militernya dengan AS guna menjamin keamanan nasional, sementara mereka juga sangat membutuhkan dolar AS untuk pembangunan kembali pascaperang. Eksploitasi seksual menjadi sarana untuk memenuhi kedua tujuan tersebut.
*Pada 1970-an, pemerintah Korsel melakukan apa yang disebut "kampanye pembersihan kota kamp" untuk menyediakan layanan "wanita penghibur" yang lebih baik bagi tentara AS setelah mantan presiden AS Richard Nixon pada 1969 mengumumkan rencana untuk memangkas jumlah tentara AS di negara Asia tersebut.
Oleh Yoo Seungki
SEOUL, 14 Mei (Xinhua) -- Korea Selatan (Korsel) telah memberikan kontribusi keuangan yang signifikan untuk kehadiran militer Amerika Serikat (AS) di wilayahnya, termasuk biaya untuk penempatan Pasukan AS di Korea Selatan (United States Forces Korea/USFK), pengadaan senjata dari perusahaan pertahanan AS, dan baru-baru ini, mendorong investasi perusahaan-perusahaan Korsel di daratan AS.
Biaya tinggi lainnya adalah layanan seks bagi tentara AS yang berbasis di sana, yang dibenarkan secara langsung maupun tidak langsung.
Sekitar 120 wanita Korsel yang menjadi korban eksploitasi seksual di kota-kota kamp, yang dikenal dengan sebutan gijichon, di sekitar pangkalan militer AS sejak 1950-an, baru-baru ini berhasil meraih kemenangan hukum yang signifikan di negaranya sendiri.
Namun, perjalanan mereka untuk mendapatkan keadilan masih jauh dari kata selesai seiring upaya mereka mencari pengakuan dan kompensasi dari pemerintah AS atas eksploitasi seksual yang mereka alami.
Orang-orang memegang potret "wanita penghibur" dan kesaksian mereka dalam sebuah aksi unjuk rasa yang diadakan di Seoul, Korea Selatan, pada 14 Agustus 2022. (Xinhua/James Lee)
PERDAGANGAN SEKS UNTUK ALIANSI MILITER
Pada September tahun lalu, Mahkamah Agung Korsel mengukuhkan putusan awal Pengadilan Tinggi Seoul yang meminta pemerintah memberikan kompensasi kepada para mantan pekerja seks gijichon dan menyatakan bahwa pemerintah bersalah karena "mendorong dan membenarkan" perdagangan seks untuk "mengintensifkan aliansi militer dan mendapatkan mata uang asing."
"Yang terpenting, itu merupakan putusan bersejarah pertama yang mengakui tanggung jawab negara atas 'wanita penghibur' militer AS di kota-kota kamp," kata Ahn-Kim Jeong-ae, salah seorang perwakilan dari Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia Wanita Penghibur Pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea (United States Army Forces in Korea/USAFIK), kepada Xinhua pada Jumat (12/5).
Kehidupan para wanita itu merupakan "salah satu aspek dari sejarah modern yang menyakitkan di Semenanjung Korea yang tidak pernah diceritakan oleh siapa pun," dan secara resmi diselidiki untuk pertama kalinya melalui proses persidangan, ujar Ahn-Kim, yang organisasinya terdiri dari kelompok-kelompok advokasi yang mendukung para korban dan melanjutkan gugatan tersebut.
Foto yang diabadikan pada 13 Mei 2023 ini menunjukkan rumah yang terbengkalai di sebuah kota kamp di Dongducheon, Korea Selatan. (Xinhua/Wang Yiliang)
Sejak Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, Korsel memprioritaskan aliansi militernya dengan AS guna menjamin keamanan nasional, sementara mereka juga sangat membutuhkan dolar AS untuk pembangunan kembali pascaperang. Eksploitasi seksual menjadi sarana untuk memenuhi kedua tujuan tersebut.
"Selama Perang Korea, militer AS mengusulkan agar pemerintah Korsel mendirikan 'pos-pos penghibur' untuk digunakan secara khusus oleh pasukan PBB (yang dipimpin AS)," tulis Park Jeong-mi, seorang profesor sosiologi di Chungbuk National University, dalam sebuah makalah 2019 yang bertajuk "Menciptakan Prajurit (dan 'Wanita Penghibur') yang Sehat".
Pada tahun-tahun pascaperang, "'wanita penghibur' sebagai kategori legal masih ada, sementara 'pos-pos penghibur' digantikan dengan klub, bar, dan ruang dansa" di kota-kota kamp di seluruh negara itu, ungkap Park. "USFK, yang merasa perlu berhati-hati untuk mengontrol langsung 'wanita penghibur' di luar yurisdiksinya, memilih untuk mengawasi pemerintah Korsel, dan mendelegasikan tanggung jawab untuk mengumpulkan, memeriksa, dan merawat mereka."
Pada 1970-an, pemerintah Korsel melakukan apa yang disebut "kampanye pembersihan kota kamp" untuk menyediakan layanan "wanita penghibur" yang lebih baik bagi tentara AS setelah mantan presiden AS Richard Nixon pada 1969 mengumumkan rencana untuk memangkas jumlah tentara AS di negara Asia tersebut.
Mantan kepala kantor kepolisian Yongsan di pusat kota Seoul, lokasi garnisun militer AS berada, dalam sebuah surat resmi kepada "mereka yang terlibat dalam bisnis pelayanan militer AS" pada Juni 1971 mengatakan bahwa beberapa pekerja seks tidak dapat memuaskan para tentara AS. Namun, kepala itu "yakin bahwa kalian telah melakukan pelayanan terbaik bagi militer AS sejauh ini."